UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
40 TAHUN 2007
TENTANG
PERSEROAN
TERBATAS
Menimbang
:
a. bahwa
perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi.
b. dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan.
c. kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu
didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat.
d. bahwa
dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional yang
sekaligus
memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan
perekonomian di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu
undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya
iklim dunia usaha yang kondusif.
e. bahwa
perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional
perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
f. bahwa
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dipandang sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti
dengan undang-undang yang baru.
g. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.
Analisis
:
Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menimbulkan beberapa kritik
terhadapnya. Misalnya ketentuan yang berkaitan dengan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR). Dalam Undang-Undang No.
40 Tahun 2007 pengertian CSR dinilai terlalu sempit, padahal konsep CSR terbaru
versi ISO 26000 justru memberikan pengertian yang lebih luas dan terarah. CSR
bukan hanya menyangkut tentang isu mempekerjakan warga sekitar atau membangun
jalan dan mendirikan sekolah, tetapi juga bagaimana perusahaan menangani
konsumen.
Pasal
1 angka 3 menyebutkan bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah
komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan
guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi
perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Definisi
ini tidak sejalan dengan Pasal 74 ayat (1) yang membatasi Tanggung Jawab Sosial
hanya pada perusahaan industri ekstraktif.
Tata
kelola perusahaan yang baik adalah wujud CSR. Tata kelola ini diwujudkan lagi
dalam bentuk transparansi dan akuntabilitas. Laporan tahunan perusahaan tidak
dapat menggambarkan secara jelan tentang konsep CSR sebagaimana dalam
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007. Laporan perusahaan mestinya memperlihatkan
kesinambungan (sustainable report) tindakan perusahaan dalam aspek ekonomi,
sosial, dan lingkungan.[1]
Ukuran
dan konsep CSR di Indonesia seharusnya mengikuti standar-standar global, maka
penyesuaian konsep CSR dengan ISO 26000 sangat diperlukan. Konsep Guidance
Standart on Social Responsibility dalam ISO sudah diperkenalkan sebelum
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 ini disahkan, sehingga pembuat undang-undang
sudah semestinya bisa memperoyeksikan perkembangan. Sesungguhnyam ISO 26000
sudah menjadi rujukan dan konsep implementasi CSR di level internasional.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
25 TAHUN 1992
TENTANG
PERKOPERASIAN
Menimbang:
a. bahwa
Koperasi, baik sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha
berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam tata perekonomian
nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan
demokrasi ekonomi.
b. bahwa
Koperasi perlu lebih membangun dirinya dan dibangun menjadi kuat dan mandiri
berdasarkan prinsip Koperasi sehingga mampu berperan sebagai sokoguru perekonomian
nasional.
c. bahwa pembangunan Koperasi merupakan tugas dan
tanggung jawab Pemerintah dan seluruh rakyat.
d. bahwa
untuk mewujudkan hal-hal tersebut dan menyelaraskan dengan perkembangan
keadaan, perlu mengatur kembali ketentuan tentang perkoperasian dalam suatu
Undang-undang sebagai pengganti Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang
Pokok-pokok Perkoperasian.
.
Analisis terhadap Undang-Undang Perkoperasian juga dilontarkan
oleh Revrisond Baswir bahwa Undang-Undang No. 17 Tahun 2001 tidak memiliki
perbedaan substansial dengan Undang-Undang Perkoperasian era orde baru
Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1967. Secara
substansial, Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 masih mewarisi karakteristik/corak
koperasi yang diperkenalkan di era pemerintahan Soeharto melalui Undang-Undang
No. 12 Tahun 1967.
Perbedaan mendasar antara Undang-Undang No. 12 Tahun 1967
dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1958 di era pemerintahan Soekarno terletak
pada ketentuan keanggotaan koperasi. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1958,
sebagaimana diatur pada Pasal 18, yang dapat menjadi anggota koperasi adalah
yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha koperasi. Ketentuan ini lebih
lanjut menurut Revrisond sejalan dengan penjelasan Mantan Wakil Presiden Moh.
Hatta bahwa “bukan corak pekerjaan yang dikerjakan menjadikan ukuran untuk
menjadi anggota, melainkan kemauan dan rasa bersekutu dan cita-cita koperasi
yang dikandung dalam dada dan kepala masing-masing”.
Pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 ketentuan keanggotaan
koperasi berubah secara mendasar. Hal ini tergambar dalam Pasal 11 bahwa
keanggotaan koperasi didasarkan atas kesamaan kepentingan dalam lapangan usaha
koperasi. Kemudian, pada Pasal 17 yang dimaksud dengan anggota yang memiliki
kesamaan kepentingan adalah suatu golongan dalam masyarakat yang homogen. Perubahan
ketentuan keanggotaan yang dilakukan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1967
ini adalah dasar bagi tumbuhnya koperasi-koperasi golongan fungsional seperti
koperasi pegawai negeri, koperasi dosen, dan koperasi angkatan bersenjata di
Indonesia.
Undang-Undang Perkoperasi yang terbaru yaitu Undang-Undang
No. 17 Tahun 2012 juga mempertahankan keberadaan koperasi golongan fungsional.
Pada Pasal 27 ayat (1), syarat keanggotaan koperasi primer adalah mempunyai
kesamaan kepentingan ekonomi. Lebih lanjut dalam penjelasn disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan kesamaan kepentingan ekonomi adalah kesamaan dalam hal
kegiatan usaha, produksi, distribusi, dan pekerjaan atau profesi.
Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 membuka peluang untuk
mendirikan koperasi produksi, namun di Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 peluang
ini justru ditutup sama sekali. Hal ini terlihat pada Pasal 83, di mana hanya
terdapat empat koperasi yang diakui keberadaannya di Indonesia, yaitu koperasi
konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa, dan koperasi simpan pinjam. Sesuai
dengan Pasal 84 ayat (2) yang dimaksud dengan koperasi produsen dalah koperasi
yang menyelenggarakan kegiatan usaha pelayanan di bidang pengadaan sarana
produksi dan pemasaran produksi. Artinya, yang dimaksud dengan koperasi produsen
sesungguhnya adalah koperasi konsumsi para produsen dalam memperoleh barang dan
modal