Selasa, 31 Maret 2015

tugas kapita selekta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2007
TENTANG
PERSEROAN TERBATAS
Menimbang :
a.       bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi.
b.      dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan.
c.       kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
d.      bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional yang
sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif.
e.       bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
f.       bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru.
g.      bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.




Analisis :
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menimbulkan beberapa kritik terhadapnya. Misalnya ketentuan yang berkaitan dengan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR). Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 pengertian CSR dinilai terlalu sempit, padahal konsep CSR terbaru versi ISO 26000 justru memberikan pengertian yang lebih luas dan terarah. CSR bukan hanya menyangkut tentang isu mempekerjakan warga sekitar atau membangun jalan dan mendirikan sekolah, tetapi juga bagaimana perusahaan menangani konsumen.
Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Definisi ini tidak sejalan dengan Pasal 74 ayat (1) yang membatasi Tanggung Jawab Sosial hanya pada perusahaan industri ekstraktif.
Tata kelola perusahaan yang baik adalah wujud CSR. Tata kelola ini diwujudkan lagi dalam bentuk transparansi dan akuntabilitas. Laporan tahunan perusahaan tidak dapat menggambarkan secara jelan tentang konsep CSR sebagaimana dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007. Laporan perusahaan mestinya memperlihatkan kesinambungan (sustainable report) tindakan perusahaan dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.[1]
Ukuran dan konsep CSR di Indonesia seharusnya mengikuti standar-standar global, maka penyesuaian konsep CSR dengan ISO 26000 sangat diperlukan. Konsep Guidance Standart on Social Responsibility dalam ISO sudah diperkenalkan sebelum Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 ini disahkan, sehingga pembuat undang-undang sudah semestinya bisa memperoyeksikan perkembangan. Sesungguhnyam ISO 26000 sudah menjadi rujukan dan konsep implementasi CSR di level internasional.




UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 1992
TENTANG
PERKOPERASIAN
Menimbang:
a.       bahwa Koperasi, baik sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha berperan serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam tata perekonomian nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
b.      bahwa Koperasi perlu lebih membangun dirinya dan dibangun menjadi kuat dan mandiri berdasarkan prinsip Koperasi sehingga mampu berperan sebagai sokoguru perekonomian nasional.
c.        bahwa pembangunan Koperasi merupakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah dan seluruh rakyat.
d.      bahwa untuk mewujudkan hal-hal tersebut dan menyelaraskan dengan perkembangan keadaan, perlu mengatur kembali ketentuan tentang perkoperasian dalam suatu Undang-undang sebagai pengganti Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian.

.







Analisis terhadap Undang-Undang Perkoperasian juga dilontarkan oleh Revrisond Baswir bahwa Undang-Undang No. 17 Tahun 2001 tidak memiliki perbedaan substansial dengan Undang-Undang Perkoperasian era orde baru Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1967. Secara substansial, Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 masih mewarisi karakteristik/corak koperasi yang diperkenalkan di era pemerintahan Soeharto melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1967.
Perbedaan mendasar antara Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1958 di era pemerintahan Soekarno terletak pada ketentuan keanggotaan koperasi. Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1958, sebagaimana diatur pada Pasal 18, yang dapat menjadi anggota koperasi adalah yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha koperasi. Ketentuan ini lebih lanjut menurut Revrisond sejalan dengan penjelasan Mantan Wakil Presiden Moh. Hatta bahwa “bukan corak pekerjaan yang dikerjakan menjadikan ukuran untuk menjadi anggota, melainkan kemauan dan rasa bersekutu dan cita-cita koperasi yang dikandung dalam dada dan kepala masing-masing”.
Pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 ketentuan keanggotaan koperasi berubah secara mendasar. Hal ini tergambar dalam Pasal 11 bahwa keanggotaan koperasi didasarkan atas kesamaan kepentingan dalam lapangan usaha koperasi. Kemudian, pada Pasal 17 yang dimaksud dengan anggota yang memiliki kesamaan kepentingan adalah suatu golongan dalam masyarakat yang homogen. Perubahan ketentuan keanggotaan yang dilakukan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 ini adalah dasar bagi tumbuhnya koperasi-koperasi golongan fungsional seperti koperasi pegawai negeri, koperasi dosen, dan koperasi angkatan bersenjata di Indonesia.
Undang-Undang Perkoperasi yang terbaru yaitu Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 juga mempertahankan keberadaan koperasi golongan fungsional. Pada Pasal 27 ayat (1), syarat keanggotaan koperasi primer adalah mempunyai kesamaan kepentingan ekonomi. Lebih lanjut dalam penjelasn disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kesamaan kepentingan ekonomi adalah kesamaan dalam hal kegiatan usaha, produksi, distribusi, dan pekerjaan atau profesi.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1967 membuka peluang untuk mendirikan koperasi produksi, namun di Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 peluang ini justru ditutup sama sekali. Hal ini terlihat pada Pasal 83, di mana hanya terdapat empat koperasi yang diakui keberadaannya di Indonesia, yaitu koperasi konsumen, koperasi produsen, koperasi jasa, dan koperasi simpan pinjam. Sesuai dengan Pasal 84 ayat (2) yang dimaksud dengan koperasi produsen dalah koperasi yang menyelenggarakan kegiatan usaha pelayanan di bidang pengadaan sarana produksi dan pemasaran produksi. Artinya, yang dimaksud dengan koperasi produsen sesungguhnya adalah koperasi konsumsi para produsen dalam memperoleh barang dan modal