Sabtu, 29 November 2014

TUGAS SOFTSKILS ETIKA BISNIS



KPK Jangan Hanya Berhenti Pada “HP”, Usut Tuntas Dugaan Kejahatan Perpajakan oleh Korporasi Perbankan! 


Kasus PT BCA

Hari Senin, 21 April 2014, KPK menetapkan Hadi Poernomo (HP), Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebagai tersangka. HP didakwa melanggar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP terkait keputusannya mengabulkan keberatan pajak PT Bank Central Asia Tbk (BCA) ketika dirinya menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan periode 2002 – 2004. KPK menilai, keputusan HP tersebut telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 375 miliar.
Kasus ini sebenarnya diawali oleh keberatan BCA terhadap koreksi pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). BCA menganggap bahwa hasil koreksi DJP terhadap laba fiskal Rp. 6,78 triliun harus dikurangi sebesar Rp. 5,77 triliun karena BCA sudah melakukan transaksi pengalihan aset ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sehingga BCA mengklaim tidak ada pelanggaran terhadap pajak mereka.
KPK harus menyelidiki klaim BCA atas pengalihan aset tersebut sebab sampai saat ini skema BLBI – BPPN masih menyisakan permasalahan. Pasalnya, jika melihat laporan keuangan PT BCA terdapat adanya kejanggalan yang indikasinya mengarah ke modus pengelakan pajak (tax evasion) dan/atau penghindaran pajak (tax avoidance). Jika KPK melakukannya, ini akan membuka peluang untuk mengembangkan kasus HP – BCA ini ke ranah yang lebih luas sampai menyasar program BLBI.
Penetapan HP sebagai tersangka kasus korupsi menghentakan banyak kalangan, bukan saja mereka yang bergerak di industri perbankan dan lembaga keuangan, namun juga bagi masyarakat luas. Jika terbukti, ini merupakan jenis kejahatan pajak luar biasa yang melibatkan elemen otoritas perpajakan dengan korporasi. Dalam kasus ini, selain menguntungkan HP secara pribadi, juga menguntungkan BCA (sebagai Wajib Pajak badan atau korporasi). Akibat dari terbitnya Surat Ketetapan Pajak Nihil/SKPN yang dikeluarkan oleh HP maka beban pajak yang seharusnya dikenakan kepada PT BCA Tbk menjadi tidak ada atau nihil. Modus ini merupakan bagian kejahatan perpajakan yang harus diungkapkan dan diselesaikan segera oleh KPK karena ini merugikan penerimaan negara dari pajak.

Saran
Saran untuk kasus ini yaitu Taat pada hukum yang berlaku, jangan meremehkan bahwa kita seorang yang berkuasa dengan seenaknya melakukan hal-hal yang melanggar hukum, bagaimana untuk membayar pajak tepat pada waktunya, bahkan kita sendiripun melanggar aturan yang berlaku, oleh karena itu jika tidak ingin terjadi sesuatu di negara ini  janganlah terpengaruh dengan apa yang orang katakan, percayalah pada diri sendiri, di negara ini banyak lembaga-lembaga seperti KPK jika orang yang melakukan korupsi belum mempunyai kesadaran, semua itu di mulai dari kesadaran diri masing-masing agar supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan di Negara Indonesia Contohnya yaitu korupsi.
 


Minggu, 16 November 2014

ANALISIS PELANGGARAN ETIKA BISNIS

Contoh Kasus Jamu Masuk Angin ( Tolak Angin dan Bintang Tujuh )
Orang bejo lebih untung daripada orang pintar, itu tagline dalam iklan jamu masuk angin. Ini agaknya ingin menggusur tagline yang popular sebelumnya, 'Orang Pintar Minum Tolak Angin' dari produksi yang lain lagi. Ikon iklan ini, memakai Bob Sadino dan Butet Kartaredjasa, tampaknya benar-benar ingin menyodorkan tesis mereka (yang lebih menguntungkan produk mereka), bahwa orang beruntung itu jauh lebih untung.
Adakah yang salah? Tentu saja tidak. Karena demikian faktanya. Benar dalam konteks kita mencari untung. Bahwa orang bejo, memang lebih untung daripada pintar. Namun ini ciri ajakan fatalistik dari masyarakat pragamatis. Copy-writer dengan bangga menyodorkan 'key-words' itu, dan tak perlu berfikir tentang dampak sosio-psikologis masyarakat. Toh agency periklanan juga lebih mengabdi client daripada memberi inspirasi ke masyarakat (sementara style eksploitasi itu sudah lama ditinggalkan dalam disain-disain dari beberapa negara maju. Kenapa mesti membandingkan ini, karena banyak produk iklan kita mengacu ke sini baik dari ide maupun teknis penyampaian).
Kembali ke pokok persoalan. Cara pandang orang bejo yang "lebih untung" dari orang pintar ini, menyesatkan. Sebagaimana filosofi 'thenguk-thenguk nemu gethuk'. Karena siapa yang tahu dirinya bejo atau nemu gethuk? Manusia 'one momen' adalah dalam kuasa Tuhan. Sedangkan manusia pintar, adalah manusia berusaha. Apakah pintar dan berusaha jaminan berhasil? Tidak. Tapi sebejo-bejonya orang, tidak ada yang tahu kapan saat dirinya akan bejo kapan sial, kecuali post-factum ia mengevaluasi dirinya, apa yang sudah dilakukannya.
Sementara itu, Bob Sadino sebagai personifikasi orang bejo, ngomong pada penonton, meyakinkan dengan mobil luxurynya, "Jangan banyak mikir, kerja saja,..." Di situ baru ketahuan bodohnya, kerja apa? Dalam piramyda korban manusia, ajakan Bob Sadino itu lebih fatal lagi bisa diartikan; Kalian kerja saja, jadi buruh, nggak usah mikir. Itu sudah bejo, daripada nganggur. Kerja sekarang susah. Orang bejo itu lebih untung daripada orang pintar.
Jika diteruskan kalimatnya; Omong kosong orang Indonesia akan pintar, sia-sia, tuh lihat banyak orang pintar sengsara, tidak beruntung, tidak kaya,... Itu ajakan khas jaman Orde Baru Soeharto dulu, jangan mikir, kerja saja.
Baru terpaksa mikir setelah semuanya lewat dan telat, aku kerja tapi kok miskin terus ya? Orang bejo itu adalah orang yang bersyukur, dan mereka yang bersyukur adalah manusia pembelajar. Seperti Thomas Alva Edisson, Muhammad Ali, Made 'Edam' Burger, Ciputra, Sugiarto, dan banyak enterpreuner yang bukan orang kaya karena keturunan dan warisan.
Bob Sadino sendiri, karena kepintarannya dalam bahasa Inggris, memulai karirnya dengan menjual telur ke para ekspatriat, dengan harga yang sangat mahal. Sementara, kata seorang sahabat saya, tetangganya (yang bernama Parno, dan tidak ada kata ‘bob’ di depannya), tetap saja hingga kini miskin, meski jualan telur jauh lebih dulu dibanding Bob Sadino. Tentu saja, karena ia hanya memungut keuntungan seribu-duaribu rupiah dari setiap kilogramnya, sementara Bob bisa menjual dengan harga jauh lebih mahal dan untung jauh lebih besar. Itu bejo? Bukan. Itu pintar.
Bejo itu lebih pada sikap hidup, dan sikap lahir dari pemahaman. Pemahaman hanya bisa dilakukan oleh mereka yang pintar. Artinya, orang bejo itu akan benar lebih beruntung dari orang pintar, karena ia tahu setelah belajar dan berupaya pintar, masih ada kekuatan lain yang menentukan. Orang pintar yang seperti ini, ialah mereka yang, seperti kata Imam Syafei, tunduk kepada kerendahan hati dan menjadi manusia pembelajar.
Orang seperti itu, bisa dipastikan tidak minum jamu.

Siapa yang dirugikan dalam kasus ini :
Dalam contoh kasus seperti ini tentu saja akan ada yang dirugikan , entah dari produk yang direndahkan atau disindir seperti bintang tujuh. Namun bukan hanya jamu tolak angin yang di rugikan , bintang tujuh juga bisa dirugikan karena dengan menyindir produk pesaingnya karena akan membuat produk mereka terlihat buruk di mata konsumen jelas ini melanggar hukum karna bersaing secara tidak sehat.
Saran untuk kasus ini :

Seharusnya iklan tidak boleh dengan sengaja meniru iklan produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing, ataupun menyindir atau membingungkan khalayak. Karena dengan merendahkan dan saling menjatuhkan malah membuat produk tersebut tidak dipercaya dan akan terlihat buruk dimata konsumen. Maka dari itu bersainglah secara sehat, dan kreatifitas bukan nya bersaing dengan cara menyindir dan merendahkan produk pesaing karena dengan cara itu sudah melanggar peraturan periklanan dunia.